new.png                                           

Survei

Standar Pelayanan

E-Court

Direktori Putusan

Info Perkara

Laporan Kinerja

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PRAKTIK PENEGAKAN HUKUM PADA SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PRAKTIK PENEGAKAN HUKUM PADA SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Oleh:

vn.jpg

Vivi Nevida Hasibuan
(Analis Perkara Peradilan pada Pengadilan Negeri Prabumulih)

 Restorative justice merupakan tahapan penyelesaian perkara di luar pengadilan (settlement outside of court) dengan turut melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian yang diharapkan memenuhi rasa keadilan kedua belah pihak dengan menekankan pada pemulihan ke keadaan semula dan bukan pembalasan. Menurut Lynne N. Henderson dalam tulisannya yang berjudul The Wrongs of Victims’ Rights, restorative justice adalah manifestasi evolusi mengenai tindak pidana dari konsep “privat atau pribadi” menuju lingkup “publik atau sosial”. Sistem peradilan pidana sebelum mengenal restorative justice menyorot penegakan hukum terhadap tindak pidana melalui tahapan persidangan sebatas dimana terdakwa akan dituntut oleh penuntut umum dan kemudian pemidanaannya diputus oleh hakim. Sistem ini berpusat semata-mata kepada pelaku dan negara dan dalam perkembangannya mengakibatkan pada terabaikannya pemenuhan hak-hak korban karena orientasi penghukuman ditujukan bagi pelaku saja. Misal, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), korban tindak pidana hanya diposisikan sebagai saksi yang membantu penuntut umum untuk membuktikan tuntutan.

Prinsip dasar restorative justice berpegang pada pemikiran tentang penegakan hukum yang adil dan tidak berat sebelah. Dengan penerapan restorative justice, keselarasan sistem pemidanaan tidak hanya bertumpu pada pertanggungjawaban pelaku tindak pidana tetapi juga pada kepentingan pemulihan korban diantaranya melalui pemberian ganti rugi, perdamaian, pengenaan pidana kerja sosial terhadap pelaku, maupun kesepakatan lainnya. Sistem pemidanaan yang belum akrab dengan restorative justice dalam perjalanannya juga menimbulkan kecenderungan praktik penggunaan instrumen pemenjaraan untuk penghukuman. Hal ini, pada akhirnya, menyebabkan permasalahan overcrowding atau kelebihan penghuni pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan.[1] Menurut data per 23 Januari 2024 dari laman web Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, telah terjadi over kapasitas sebesar 77 (tujuh puluh tujuh) persen dengan jumlah penghuni sejumlah 228.204 dari kapasitas untuk 128.656 penghuni Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan.[2]

Awal mula konsep Restorative Justice lahir dari munculnya kesadaran atas kegagalan sistem peradilan pidana dalam mengakomodir peran korban yang diinisiasi oleh gerakan perempuan dengan nama “Asosiasi Nasional untuk Skema Bantuan Korban”. Kemudian, pada tahun 1973, dilakukan pertemuan internasional pertama yang membahas tentang hak korban dalam sistem peradilan pidana yang menjadi cikal bakal terbentuknya World Society of Victimology pada tahun 1979[3] hingga pada tahun 1985, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Deklarasi Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Gerakan-gerakan ini sejalan dengan lahirnya konsep Restorative Justice. Adapun istilah ‘restorative justice’ baru diperkenalkan dalam beberapa tulisan Albert Eglash pada 1950-an dan baru marak digunakan pada 1977. [4]

Pengertian restorative justice, atau yang dikenal dalam hukum positif di Indonesia sebagai Keadilan Restoratif, diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut sebagai UU SPPA). Selain di dalam UU SPPA, pengaturan restorative justice di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia juga ditemukan di dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun;
  4. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana;
  5. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif;
  6. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif; dan
  7. Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa

Prinsip restorative justice juga telah diimplementasikan oleh Mahkamah Agung, salah satunya melalui pemberlakuan kebijakan-kebijakan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya disebut PERMA) dan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya disebut SEMA). Adapun PERMA dan SEMA tersebut adalah:

  1. PERMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (selanjutnya disebut PERMA No. 2 Tahun 2012)
  2. PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
  3. PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum (selanjutnya disebut PERMA No. 3 Tahun 2017)
  4. SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial (selanjutnya disebut SEMA No. 4 Tahun 2010)
  5. SEMA Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial
  6. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 166A/KMA/SKB/XII/2009, 148A/A/JA/12/2009, B/45/XII/2009, M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, 10/PRS-s/KPTS/2009, 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum
  7. Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
  8. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014 Nomor Per-005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi
  9. Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum

UU SPPA melalui Pasal 5 ayat (1) telah mewajibkan keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, sejak tahap penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana, untuk mengutamakan pendekatan restorative justice. Pendekatan tersebut salah satunya diupayakan melalui lembaga Diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Upaya diversi dapat diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, atau diancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan), serta bukan merupakan pengulangan. Upaya diversi dilakukan melalui musyawarah dengan memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, serta kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan tujuan akhir untuk memperoleh kesepakatan diversi. Bila dirasa perlu, dapat dilakukan pertemuan terpisah atau kaukus antara para pihak dengan hakim sebagai fasilitator diversi. Di dalam musyawarah diversi inilah, kemampuan hakim dibutuhkan untuk dapat menjembatani proses silang pendapat sehingga dapat diperoleh kesepakatan diversi yang disetujui dan dirasa adil bagi kedua belah pihak. Persetujuan itu dapat dikecualikan dalam hal tindak pidana merupakan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian yang diderita korban tidak melebihi nilai Upah Minimum Provinsi setempat. Pasal 11 UU SPPA telah mengatur bentuk-bentuk kesepakatan diversi yang dihasilkan dapat berbentuk perdamaian dengan/tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua atau wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (selanjutnya disebut LPKS) paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat. Dalam hal proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan maka penegakan hukum terhadap tindak pidana dapat dilanjutkan dengan proses peradilan pidana.

Ragam pidana pokok yang dapat dijatuhkan bagi anak yang berkonflik dengan hukum mengakomodir kendala yang ditemui terkait overcrowding dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Pasal 71 ayat (1) UU SPPA mengatur jenis-jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yaitu pidana peringatan, pidana dengan syarat berupa pembinaan di luar lembaga (dapat berupa keharusan untuk mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina, mengikuti terapi di rumah sakit jiwa, atau mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya), pelayanan masyarakat, atau pengawasan, serta pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara. Sedangkan untuk anak yang berkonflik dengan hukum yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU SPPA berupa pengembalian kepada orang tua/Wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta, pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM), dan/atau perbaikan akibat tindak pidana.

Pengejawantahan lainnya dari konsep restorative justice yang mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan dalam UU SPPA juga dimanifestasikan dalam konsep pemaafan hakim atau rechtelijke pardon. Dalam konsep ini, hakim diharapkan untuk dapat menimbang ringannya perbuatan pidana, keadaan pribadi anak, atau kejadian waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 70 UU SPPA. Di dalam yurisprudensi, contoh putusan pemaafan hakim pernah dijatuhkan Pengadilan Negeri Rengat dalam kasus pencurian terhadap anak yang dituntut pidana 2 (dua) bulan penjara dalam perkara nomor 2/Pid,Sus-Anak/2021/PN Rgt.

Di dalam institusi Mahkamah Agung, selain terhadap tindak pidana anak, penerapan restorative justice ditemukan dalam penyelenggaraan hukum terhadap tindak pidana ringan, tindak pidana yang dilakukan perempuan yang berhadapan dengan hukum, dan tindak pidana narkotika. Menurut Pasal 1 PERMA No. 2 Tahun 2012, perkara pencurian ringan, penggelapan ringan, penipuan ringan, perusakan ringan, dan penadahan ringan yang nilai objek perkaranya tidak melebihi Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) diperiksa oleh hakim tunggal dengan acara pemeriksaan cepat sesuai Pasal 205-210 KUHAP. Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil dicapai maka hakim tunggal melanjukan proses pemeriksaan pidana dan selama persidangan, hakim dianjurkan untuk tetap mengupayakan perdamaian dan mengedepankan restorative justice dalam putusannya.

Kemudian, eksistensi PERMA No. 3 Tahun 2017 menjadi salah satu bukti komitmen Mahkamah Agung dalam menjamin akses keadilan dan meningkatkan posisi tawar perempuan yang berhadapan dengan hukum sebagai kaum rentan melalui asas-asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 PERMA No. 3 Tahun 2017. Melalui PERMA ini, peran perempuan yang berhadapan dengan hukum di dalam pembuktian di persidangan tidak hanya sekedar “membantu penuntut umum” membuktikan kesalahan terdakwa, tetapi juga dalam memulihkan kembali ketertiban umum yang diakomodir dalam perintah undang-undang bagi hakim di dalam Pasal 8 ayat (1) untuk menjamin hak perempuan untuk berkomunikasi secara terbuka perihal kerugian, dampak kasus, dan kebutuhannya atas pemulihan.

Dalam perkara narkotika, pendekatan restorative justice diimplementasikan melalui penerapan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi bagi terdakwa yang merupakan pecandu narkotika, yaitu yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis, yang tertangkap tangan dan pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari (perincian lebih lengkapnya tercantum pada SEMA No. 4 Tahun 2010), terdapat Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan permintaan penyidik dan Surat Keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim, serta tidak terdapat bukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika. Lalu, hakim dalam menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi harus dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan taraf kecanduan terdakwa sehingga dalam hal ini maka keberadaan keterangan ahli menjadi wajib adanya. Di dalam pemeriksaan di persidangan, hakim juga dapat memerintahkan terdakwa agar menghadirkan keluarga terdakwa dan pihak terkait untuk didengar keterangannya sebagai saksi yang meringankan dalam rangka pendekatan restorative justice.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bersama bahwa dalam penerapan restorative justice, hukum sebagai alat kontrol sosial yang senantiasa berkembang mengikuti perkembangan masyarakatnya memiliki sifat remedial yang bertujuan mengembalikan situasi pada keadaan semula. Sebagaimana adagium hukum yang berbunyi judex herbere debet duos sales, salem sapientiae, ne sit insipidus, et salem conscientie, ne sit diabolus yang maknanya “seorang hakim harus mempunyai dua hal; suatu kebijakan, kecuali dia bodoh; dan hati nurani, kecuali dia mempunyai sifat yang kejam”, maka tujuan dari penerapan restorative justice tidaklah hanya mementingkan pembalasan bagi pelaku tindak pidana sedang ia mengesampingkan penyelesaian yang adil bagi kedua belah pihak. Namun, hendaknya seorang hakim yang baik turut mempertimbangkan kepentingan korban dengan mengutamakan pemulihan kembali kepada keadaan semula.

 

[1]Institute for Criminal Justice Reform, 2022, Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, https://leip.or.id/wp-content/uploads/2022/11/221014-Ebook_Peluang-Penerapan-RJ-dalam-SPP-di-Indonesia..pdf

[2]Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2023, Dashboard Kumham Update, https://sada.kemenkumham.go.id/ditjenpas#

[3]United Nations Office on Drugs and Crime, 1999, Handbook on Justice for Victims, https://www.refworld.org/pdfid/479eeb1a2.pdf

[4]Shadd Maruna, 2014, The Role of Wounded Healing in Restorative Justice: An Appreciation of Albert Eglash, Restorative Justice: An International Journal 2, hlm.